Minggu, 21 November 2010

Sejarah Kota Depok

Awalnya Depok merupakan sebuah dusun terpencil ditengah hutan belantara dan semak belukar. Pada tanggal 18 Mei 1696 seorang pejabat tinggi VOC, Cornelis Chastelein, membeli tanah yang meliputi daerah Depok serta sedikit wilayah Jakarta Selatan, Ratujaya  dan Bojonggede.  Chastelein mempekerjakan sekitar seratusan pekerja. Mereka didatangkan dari Bali, Makassar, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Jawa, Pulau Rote serta Filipina.
Selain mengelola perkebunan, Cornelis juga menyebarluaskan agama Kristen kepada para pekerjanya, lewat sebuah Padepokan Kristiani. Padepokan ini bernama De Eerste Protestante Organisatie van Christenen, disingkat DEPOK. Dari sinilah rupanya nama kota ini berasal.  Sampai saat ini, keturunan pekerja-pekerja Cornelis dibagi menjadi 12 Marga. Adapun marga-marga tersebut adalah :
  1. Jonathans
  2. Laurens
  3. Bacas
  4. Loen
  5. Soedira
  6. Isakh
  7. Samuel
  8. Leander
  9. Joseph
  10. Tholense
  11. Jacob
  12. Zadokh
Tahun 1871 Pemerintah Belanda mengizinkan daerah Depok membentuk Pemerintahan dan Presiden sendiri setingkat Gemeente (Desa Otonom).
Keputusan tersebut berlaku sampai tahun 1942.  Gemeente Depok diperintah oleh seorang Presiden sebagai badan Pemerintahan tertinggi. Di bawah kekeuasaannya terdapat kecamatan yang membawahi mandat (9 mandor) dan dibantu oleh para Pencalang Polisi Desa serta Kumitir atau Menteri Lumbung.  Daerah teritorial Gemeente Depok meliputi 1.244 Ha, namun  dihapus pada tahun 1952 setelah terjadi perjanjian pelepasan hak antara Pemerintah RI dengan pimpinan Gemeente Depok, tapi tidak termasuk tanah-tanah Elgendom dan beberapa hak lainnya.
Sejak saat itu, dimulailah pemerintahan kecamatan Depok yang berada dalam lingkungan Kewedanaan (Pembantu Bupati) wilayah Parung, yang meliputi 21 Desa. Pada tahun 1976 melalui proyek perumahan nasional di era Orde Baru, dibangunlah Perumnas Depok I dan Perumnas Depok II. Pembangunan tersebut memicu perkembangan Depok yang lebih pesat sehingga akhirnya pada tahun 1981 Pemerintah membentuk kota Administratif Depok yang peresmiannya dilakukan tanggal 18 Maret 1982 oleh Menteri Dalam Negeri (H. Amir Machmud).
Sejak tahun 1999, melalui UU nomor 15 Tahun 1999 Tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Depok dan Kotamadya Daerah Tingkat II Cilegon, Depok meningkat statusnya menjadi Kotamadya atau Kota. Menurut Undang-Undang tersebut, wilayah Kotamadya daerah Tingkat II Depok memiliki uas wilayah 20.504,54 Ha yang meliputi :
  1. Kecamatan Beji, terdiri dari 6 kelurahan dengan luas wilayah 1614 Ha.
  2. Kecamatan Sukmajaya, terdiri dari 11 kelurahan dengan luas wilayah 3.398 Ha.
  3. Kecamatan Pancoran Mas, dengan pusat pemerintahan berkedudukan dikelurahan Depok, terdiri dari 6 Kelurahan dan 6 Desa dengan jumlah penduduk 156.118 jiwa dan luas wilayah 2.671 Ha.
  4. Kecamatan Limo, terdiri dari 8 desa dengan luas wilayah 2.595,3 Ha.
  5. Kecamatan Cimanggis, terdiri dari 1 kelurahan dan 12 desa dengan luas wilayah 5.077,3 Ha.
  6. Kecamatan Sawangan, terdiri dari 14 desa dengan luas wilayah 4.673,8 Ha.
ASAL USUL PONDOK CINA
Dulu, Pondok Cina hanyalah hamparan perkebunan dan semak-semak belantara yang bernama Kampung Bojong.  Awalnya hanya sebagai tempat transit pedagang-pedagang Tionghoa yang hendak berjualan di Depok.  Lama kelamaan menjadi pemukiman, yang kini padat sebagai akses utama Depok-Jakarta.
Kota Madya Depok (dulunya kota administratif) dikenal sebagai penyangga ibukota.  Para penghuni yang mendiami wilayah Depok sebagian besar berasal dari pindahan orang Jakarta.  Tak heran kalau dulu muncul pomeo singkatan Depok : Daerah Elit Pemukiman Orang Kota.  Mereka banyak mendiami perumahan nasional (Perumnas), membangun rumah ataupun membuat pemukiman baru.
Pada akhir tahun 70-an masyarakat Jakarta masih ragu untuk mendiami wilayah itu.  Selain jauh dari pusat kota Jakarta, kawasan Depok masih sepi dan banyak diliputi perkebunan dan semak belukar.  Angkutan umum masih jarang, dan mengandalkan pada angkutan kereta api.  Seiring dengan perkembangan zaman, wajah Depok mulai berubah. Pembangunan di sana-sini gencar dilakukan oleh pemerintah setempat.  Pusat hiburan seperti Plaza, Mall telah berdiri megah. Kini Depok telah menyandang predikat kotamadya dimana selama 17 tahun menjadi Kotif.
Sebagai daerah baru, Depok menarik minat pedagang-pedagang Tionghoa untuk berjualan di sana. Namun Cornelis Chastelein pernah membuat  peraturan bahwa orang-orang Cina tidak boleh tinggal di kota Depok.  Mereka hanya boleh berdagang, tapi tidak boleh tinggal.  Ini tentu menyulitkan mereka.  Mengingat saat itu perjalanan dari Depok ke Jakarta bisa memakan waktu setengah hari,  pedagang-pedagang tersebut membuat tempat transit di luar wilayah Depok, yang bernama Kampung Bojong.  Mereka berkumpul dan mendirikan pondok-pondok sederhana di sekitar wilayah tersebut.  Dari sini mulai muncul nama Pondok Cina.
Menurut cerita H. Abdul Rojak, sesepuh masyarakat sekitar Pondok Cina, daerah Pondok Cina dulunya bernama Kampung Bojong. “Lama-lama daerah ini disebut Kampung Pondok Cina.  Sebutan ini berawal ketika orang-orang keturunan Tionghoa datang untuk berdagang ke pasar Depok. Pedagang-pedagang itu datang menjelang matahari terbenam.  Karena sampainya malam hari, mereka istirahat dahulu dengan membuat pondok-pondok sederhana,” ceritanya. Kebetulan, lanjut Rojak, di daerah tersebut ada seorang tuan tanah keturunan Tionghoa.  Akhirnya mereka semua di tampung dan dibiarkan mendirikan pondok di sekitar tanah miliknya. Lalu menjelang subuh orang-orang keturunan Tionghoa tersebut bersiap-siap untuk berangkat ke pasar Depok.”
Kampung Bojong berubah nama menjadi kampung Pondok Cina pada tahun 1918.  Masyarakat sekitar daerah tersebut selalu menyebut kampung Bojong dengan sebutan Pondok Cina.  Lama-kelamaan nama Kampung Bojong hilang dan timbul sebutan Pondok Cina sampai sekarang.  Masih menurut cerita, Pondok Cina dulunya hanya berupa hutan karet dan sawah.  Yang tinggal di daerah tersebut hanya berjumlah lima kepala keluarga, itu pun semuanya orang keturunan Tionghoa.  Selain berdagang ada juga yang bekerja sebagai petani di sawah sendiri.  Sebagian lagi bekerja di ladang kebun karet milik tuan tanah orang-orang Belanda.  Semakin lama, beberapa kepala keluarga itu pindah ke tempat lain.  Tak diketahui pasti apa alasannya. Yang jelas, hanya sisa satu orang keluarga di sana.  Hal ini dikatakan oleh Ibu Sri, generasi kelima dari keluarga yang sampai kini masih tinggal di Pondok Cina.
“Saya sangat senang tinggal disini, karena di sini aman, tidak seperti di tempat lain,”.  Dulunya, cerita Sri, penduduk di Pondok Cina sangat sedikit.  Itupun masih terbilang keluarga semua. “Mungkin karena Depok berkembang, daerah ini jadi ikut ramai,” kenangnya. Satu-persatu keluarganya mulai pindah ke tempat lain.
“Tinggal saya sendiri yang masih bertahan disini,” kata ibu Sri lagi.  Sekarang daerah Pondok Cina sudah semakin padat.  Ditambah lagi dengan berdirinya kampus UI Depok pada pertengahan 80-an, di kawasan ini banyak berdiri rumah kost bagi mahasiswa. Toko-toko pun menjamur di sepanjang jalan Margonda Raya yang melintasi daerah Pondok Cina ini.  Bahkan pada jam-jam berangkat atau pulang kerja, jalan Margonda terkesan semrawut. Maklum, karena itu tadi, pegawai maupun karyawan yang tinggal di Depok mau tak mau harus melintas di Pondok Cina.
ASAL USUL MARGONDA
Margonda yang kini menjadi nama jalan protokol dan pusat bisnis di Depok itu tidak diketahui persis asal muasalnya. Konon, nama itu berasal dari nama seorang pahlawan yang bernama Margonda. Keluarga yang mengklaim sebagai anak keturunan Margonda sendiri (di Cipayung, Depok) sampai sekarang belum dapat memberikan informasi mengenai sepak terjang atau lokasi makam Margonda. Yang jelas, nama Margonda kini identik dengan Depok. Sebut saja “Margonda”, maka pasti orang akan mengasosiasikannya dengan “Depok”, beserta segala hiruk-pikuk aktivitasnya yang kian terus berkembang

Sabtu, 13 November 2010

tempaT pariwisatA kotA depoK

Mesjid Kubah Emas. Itulah nama lain dari Masjid Dian Al Mahri yang terletak di Kawasan Islamic Centre, Keluruhan Maruyung, Kecamatan Limo, Kota Depok ini.
Mesjid ini didirikan pada tanggal 31 Desember 2006. Pendirinya adalah Hj Dian Juriah Maimum Al Rasyid dan Drs. H. Maimum Al Rasyid. Nama pendiri, Hj Dian inilah yang dijadikan nama mesjid yang memiliki luas 8000 m2 ini. Mesjid ini merupakan bagian dari Kawasan Islamic Center yang memiliki luas 70 hektar.

Sebutan kubah emas sendiri berdasarkan material emas yang digunakan pada beberapa bagian dari mesjid yang pembangunannya dimulai pada tahun 1999 ini.

Penggunaan material emasnya sendiri menggunakan tiga teknik pemasangan. Pertama, serbuk emas (prada) yang terpasang di mahkota pilar/tiang capital. Kedua, gold plating terdapat pada lampu gantung, railing tangga mezanin, pagar mezanin, ornament kaligrafi kalimat tasbih di pucuk langit-langit kubah dan ornament dekoratif diatas mimbar mihrab. Ketiga, gold mozaik solid yang terdapat di kubah utama dan kubah menara.

Mesjid Kubah Emas ini mampu menampung jemaah untuk pelaksanaan sholat sebanyak 15.000 jamaah, dan 20.000 jamaah untuk pelaksanaan majlis taklim.

Jika anda mau berkunjung ke masjid yang ’telah menjadi objek wisata’ (tidak bertiket, hanya uang parkir kendaraan saja di lokasi), maka simak tata tertibnya berikut ini :

1. Sepatu dan sandal diletakkan di tempat yang telah ditentukan ... . Tidak diperkenankan membawa sepatu dan sandal ke dalam majid.
2. Dilarang membawa makanan dan minuman ke areal masjid. Jamaah yang akan makan dan minum dipersilahkan mengambil tempat di Gedung Serba Guna Dian Al- Mahri (semacam aula).
3. Anak dibawah usia 7 tahun yang tidak melakukan kegiatan ibadah, tidak diperkenankan memasuki masjid dan disediakan tempat di gedung serba guna.
4. Dilarang membuang sampah sembarangan.
5. Setiap muslim, memasuki masjid harus dalam keadaan aurat tertutup.
6. Toilet kaum ibu tersedia disamping gedung serba guna.
7. Tidak diperkenankan mengambil foto di dalam masjid. Kilatan lampu kamera akan mengganggu kekhusukan jamaah yang sedang beribadah.
8. Dilarang menginjak rumput disekitar areal masjid.
9. Jam buka masjid setiap harinya : a. 04.00 – 06.00 WIB b.10.00 – 20.00 WIB.
10. Setiap hari kamis, terhitung mulai 29 November 2007, kawasan Komplek Islamic Centre Dian Al-Mahri tertutup untuk umum. Hal ini dikarenakan : dilaksanakan pekerjaan sipil dan infrastuktur di kawasan masjid dan sekitarnya serta pembersihan secara menyeluruh kawasan masjid untuk persiapan hari juma’at. buah kubah yang terdapat di mesjid ini melambangkan rukun Islam. Seluruh kubah ini dibalut dengan mozaik berlapis emas 24 karat yang materialnya didatangkan dari Itali.

Kemacetan Kota Depok


www.depok.go.id
Pemerintah Kota Depok, Jawa Barat segera menyelesaikan pembangunan jalan tembus dari ruas Jalan Dewi Sartika menuju Jalan Arif Rahman Hakim (ARH) pada akhir 2009. Pembuatan jalur tembus ini untuk mengurai kemacetan di sekitar terminal Margonda,

"Mudah-mudahan dalam waktu dekat, penyelesaian jalan tembus akan segera dilaksanakan," kata Wali Kota Depok, Nur Mahmudi Ismail, di Depok, Minggu (8/11).

Pembangunan jalan tembus yang sudah 50 persen dikerjakan tersebut terpaksa dihentikan karena lahan sepanjang 500 meter masih harus menunggu izin dari PT Kereta Api, yang mempunyai lahan tersebut. Menurut dia, pihaknya telah menanyakan langsung ke Dirjen Perkeretaapian, Departemen Perhubungan (Dephub) mengenai izin pemakaian lahan untuk jalan tembus tersebut.

Nur mengatakan mereka akan mengirimkan surat ke Departemen Keuangan terlebih dahulu untuk mendapatkan izin hak guna pakai lahan tersebut. "Mudah-mudahan tak lama lagi izin keluar sehingga pembangunan bisa dilanjutkan," harapnya.

Pembangunan jalan tembus tersebut untuk mengurangi beban volume kendaraan di terminal Margonda Kota Depok, dan kemacetan di sekitar terminal tersebut. Jumlah kendaraan yang melewati ruas Jalan Raya Margonda yang mencapai 7.000 kendaraan per hari. Sedikitnya sebanyak 1.400 angkutan kota yang melintas dari arah barat Kota Depok menuju Jalan Raya Margonda.

Jika satu Angkot saja berputar hingga lima kali, maka dipastikan volume angkot yang melintas sebanyak 7.000 unit. Untuk itu diharapkan dengan adanya jalan tembus, maka volumenya akan berkurang hingga 50 persen.

"Jalan tembus tersebut untuk khusus untuk angkot dan mobil barang," katanya. Sebanyak tujuh trayek angkot yang melintasi bagian barat jalan tersebut, yaitu angkot D 07 (Terminal-Jembatan serong), D 03 (Terminal-Parung), D 04 (Terminal-Kukusan), S16 (Depok-Limo), 110 (Terminal Depok-Cinere), 105 (Terminal-Lebak Bulus), dan D 01 (Depok-Depok I Dalam).

Pembangunan jalan tembus yang letaknya persis di sisi barat rel kereti api tersebut dapat memperlancar arus lalu lintas di sekitar terminal Margonda.